KARAWANG, Karawangchannel.com - Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan perkara pidana pemalsuan Surat Keterangan Waris (SKW) di Pengadilan Negeri (PN) Karawang yang digelar Rabu (9/10/2024) dinilai telah mengabaikan rasa keadilan bagi Stephani selaku korban.
Stephani mengaku sangat kecewa dengan tuntutan jaksa yang dinilainya lebih memperhatikan dan melindungi kepentingan terdakwa.
"Saya ini kan korban, kepentingan saya sebagai korban telah diwakili oleh negara dan negara telah mempercayakan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut Terdakwa dengan tuntutan pidana sesuai pasal-pasal yang didakwakan dan fakta-fakta persidangan,"ujar Stephani Rabu, (9/10/2024)
Selaku korban, Stephani merasa sangat kecewa dengan tuntutan percobaan terhadap terdakwa yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Karina Tri Agustina.,SH, dan Ganies Aulia Ramdha.,SH. Apalagi menurutnya sama sekali tidak ada dasar pembenar, pemaaf dan penghapus pidana yang dilakukan Terdakwa.
"Bahkan Jaksa Penuntut Umum seakan-akan telah bertindak menjadi penasehat hukumnya terdakwa dengan memaksa saya selaku Korban untuk hadir dalam persidangan dan mau membuat perdamaian dengan terdakwa, agar syarat tuntutan percobaan dapat terpenuhi dan dikabulkan oleh Majelis Hakim.”tutur Stephani melalui telepon seluler ketika dihubungi awak media.
Lebih lanjut Stephani menjelaskan bahwa selama ini dirinya telah membuka lebar pintu perdamaian, sayangnya hal itu ditolak oleh terdakwa.
"Perihal usulan perdamaian yang diajukan Terdakwa sebenarnya sudah ditolak sendiri oleh Terdakwa, itu terjadi sejak dilakukan mediasi di Polda Metro Jaya, di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan terakhir di Pengadilan Negeri Karawang. Proses perdamaian tersebut, lebih dari 3 tahun, sebenernya memberikan ruang waktu yang cukup leluasa bagi Terdakwa, apalagi selama proses perkara berjalan, Terdakwa tidak dilakukan penahanan,"ungkap Stephani.
Sayangnya, dalam kesempatan itu Terdakwa tidak memanfaatkan ruang waktu mediasi tersebut, karena selalu menolak usulan perdamaian yang diajukan oleh Stephani.
"Waktu itu saya minta agar PT EMKL Bimajaya Mustika dilakukan audit, minta agar Terdakwa memberikan daftar harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan dengan ayah saya (alm. Sugianto) berikut dengan bukti foto copy kepemilikan, perdamaian itu deadlock, tidak ada titik temu dan dinyatakan gagal. Lalu bagaimana bisa dipenghujung proses persidangan ini, tiba-tiba Jaksa Penuntut Umum mengajukan Tuntutan Percobaan terhadap Terdakwa, apa dasar hukumnya?"ucap Stephani.
"Yang saya tau ancaman hukuman pasal 266 KUHP dan pasal 263 KUHP itu lebih dari 5 Tahun dan akibat perbuatan Terdakwa memalsukan surat itu terbukti ada kerugian yang diderita oleh saya selaku korban selama 12 tahun, dimana semua aset perusahaan PT EMKL Bimajaya Mustika dan harta bersama peninggalan ayah saya (alm. Sugianto) dikuasai oleh Terdakwa bersersama-sama dengan Dandy Sugianto dan Ferlin Sugianto (kakak dan adik saya). Selain itu, Terdakwa di dalam persidangan memberikan keterangan yang tidak jujur dan berbelit-belit."kata Stephani bernada kesal bercampur kecewa.
Stephani berharap agar keadilan hukum dapat ditegakan, serta hak-haknya sebagai korban dapat dipulihkan dan diperjuangan secara maksimal. Apalagi peristiwa itu terjadi sudah sejak 12 tahun lalu, dan selama itulah Stephani terus mempertahan hak-haknya sebagai ahli waris dan warga negara Indonesia. Ia hanya memiliki keyakinan bahwa upaya hukum yang dilakukannya selama ini tidak sia-sia.
Sementara itu, kuasa hukum korban, Zaenal Abidin merasa adanya keanehan dalam tuntutan JPU kepada Terdakwa Kusumayati, karena menurutnya terdakwa Kusumayati seharusnya telah memenuhi unsur terhadap pasal-pasal yang disangkakan.
"Dan perbuatan Terdakwa sama sekali tidak ada yang merujuk pada unsur pembebas, pemaaf dan pembenar. Selain itu Terdakwa juga menolak Restorative Justice (perdamaian) yang diminta korban, sehingga tidak terjadi kesepakatan. Dengan tidak adanya kesepakatan, maka seharusnya tuntutan masuk bukan tuntutan percobaan,"kata Zaenal.